XtGem Forum catalog

IMAM ASY SYAFI'I
1. Namanya
Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muttalib (ayah Abdul Muttalib kakek Rasulullah ) bin Abdi Manaf. Beliau bertemu nasabnya dengan Rasulullah pada Abdi Manaf.
Beliau bergelar Nashirul hadits (pembela hadits), karena kegigihannya dalam membela hadits dan komitmennya untuk mengikuti sunnah Nabi.
2. Kelahiran
Imam Al-Baihaqi menyebutkan,”Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di kota Ghazzah, kemudian dibawa ke Asqalan, lalu dibawa ke Mekkah. Ibnu Hajar menambahkan,” Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di kota Asqalan. Ketika berusia dua tahun ibunya membawanya ke Hijaz dan hidup bersama orang-orang keturunan Yaman karena ibunya dari suku Azdiyah. Diusia 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah karena khawatir nasabnya yang mulia akan lenyap”.
3. Perjalanannya menuntut ilmu
Dalam usia 7 tahun Imam Asy-Syafi’i selesai menghafal Al-Qur’an dan usia 10 tahun beliau hafal Al-Muwaththa’ karya Imam Malik, usia 15 tahun dengan izin gurunya yang bernama Muslim bin Khalid Az-Zanji untuk berfatwa. Beliau juga banyak menghafal syair-syair Hudzail. Setelah itu beliau pergi ke Madinah untuk belajar fiqih dari Imam Malik bin Anas hingga Imam Malik wafat tahun 179H, setelah itu beliau belajar dai Sufyan bin ‘Uyainah.
Dari hasil menggadaikan rumahnya seharga 16 dinar, Imam Syafi’i pergi ke Yaman. Karena ketidakmampuannya beliau bekerja di Yaman sambil belajar dari para ulama-ulama di sana di antaranya Ibnu Abi Yahya dan lainnya.
Ketika itu, di saat pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid terjadi fitnah ‘Alawiyyin yang mengakibatkan seluruh ‘Alawiyyin terusir dari Yaman termasuk Imam Syafi’i. Beliau bersama rombongan ‘Alawiyyin dibawa ke Irak dengan diikat dan sambil disiksa. Keluar dari penjara Irak beliau belajar dari para ulama-ulama di sana seperti Imam Muhammad bin Al-Hasan.
Ketika pemerintahan Al-Makmun yang dikuasai oleh para ulama ahli kalam dan merebak banyak bid’ah, beliau pergi ke Mesir dan beliau membuka halaqah di masjid Amr bin Al-‘Ash.
4. Guru dan muridnya
Imam Syafi’i mengambil ilmu dari para ulama di berbagai tempat misalnya di Makkah, Madinah, Kufah, Bashrah, Yaman, Syam dan Mesir. Imam AL-Baihaqi menyebutkan beberapa orang guru Imam Asy-Syafi’i di antaranya sebagai berikut:
1. Di Makkkah
• Imam Sufyan bi Uyainah.
• Abdurrahman bin Abu Bakar bin Abdullah bin Abu Mulaikah.
• Ismail bin Abdullah Al-Muqri.
• Muslim bin Khalid Az-Zanji.
2. Di Madinah
• Imam Malik bin Anas.
• Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Darawirdi.
• Ibrahim bin Sa’ad bin Abdurrahman.
• Muhammad bin Ismail Abu Fudaik.
3. Di tempat-tempat yang lain
• Hisyam bin Yusuf Al-Shan’ani.
• Mutharrif bin Mazin Al-Shan’ani.
• Waki’ bin Jarrah
• Muhammad bin Hasan Al-Syaibani.
Adapun murid-murid beliau yang terkenal adalah;
- Rabi’ bin Sulaiman bin Abdul Jabbar tokoh hadits dan fiqih, menjadi syaikh muazzin di masjid Fusthath.
- Abu Ibrahim Ismail bin Yahya bin Ismail bin Amr bin Muslim Al-Muzani Al-Mishri.
- Abu Yaqub Yusuf bin Yahya Al-Mishri Al-Buwaithi.
Beliau juga bertemu dengan Imam Ahmad bin Hambal dan saling mengambil ilmu antara keduanya.
5. Karya-karyanya
Imam Syafi’i memiliki karya tulis yang banyak sekali, di antaranya yang paling terkenal adalah:
1. Kitab Al-Umm, Kitab fiqih yang terdiri dari empat jilid berisi 128 masalah dan terbagi ke dalam 40 bab lebih.
2. Kitab Al-Risalah Al-Jadidah, Kitab ini dianggap sebagai induk kitab ushul fiqh yang terdiri dari satu jilid besar yang sudah di-tahqiq oleh Ahmad Syakir.
3. Selain yang dua ini ada beberapa kitab yang dinisbahkan kepada beliau di antaranya kitab Al-Musnad, As-Sunan, Ar-Rad ‘ala Al-Barahimiyah dan Mihnatu Imam Asy-Syafi’i.
6. Wafatnya
Setelah mengalami penyakit wasir yang menyebabkan keluar darah terus menerus, Imam Asy-Syafi’i wafat pada akhir bulan Rajab tahun 204H dan dimakamkan di Mesir. Wallahu ‘A’lam.
DASAR-DASAR IMAM ASY-SYAFI'i DALAM MENETAPKAN AQIDAH
Sebagaimana para ulama salaf lainnya, Imam Asy-Syafi’i membuat beberapa landasan (qaidah) dalam menetapkan qaidah di antaranya adalah sebagai berikut:
Qaidah pertama: Iltizam (komitmen) terhadap Al-Qur’an dan Sunnah dan mendahulukan keduanya dari akal.
Mengambil lahiriyah Al-Qur’an dan sunnah dan menjadikan keduanya sebagai landasan dan sumber dalam menetapkan aqidah islamiyah. Apa yang ditetapkan oleh keduanya maka wajib diterima dan apa yang dinafikan oleh keduanya wajib untuk ditolak, Allah berfirman,” Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetappkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”, (QS. 33:36).
Imam Asy-Syafi’i berkata,” Aku beriman kepada Allah dan apa yang datang dari Allah sesuai yang diinginkan oleh Allah. Dan aku beriman kepada Rasulullah dan apa yang datang dari Rasulullah sesuai dengan apa yang dimaksudkan Rasulullah ”.
Kedudukan As-Sunnah menurut Imam Syafi’i dan bantahan beliau terhadap orang yang mengingkar sunnah sebagai hujjah.
Imam Asy-Syafi’i berkata,” Semua yang datang dari sunnah merupakan penjelasan dari al-Qur’an. Maka setiap orang yang menerima Al-Qur’an, maka wajib menerima sunnah Rasulullah, karena Allah mewajibkan hamba-Nya untuk mentaati Rasul-Nya dan mematuhi hukum-hukumnya. Orang yang menerima apa yang datang dari Rasulullah berarti ia telah menerima apa yang datang dari Allah, karena Dia telah mewajibkan kita untuk mentaatinya”. Beliau berdalil dengan sejumlah ayat di antaranya firman Allah,” Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”, (QS. 4:59).
Bantahan Imam Syafi’i kepada orang yang mengingkari sunnah sebagai hujjah.
1. Allah telah mewajibkan kita untuk mengikuti sunnah Rasulullah dan menyuruh kita mematuhi perintah dan menjauhi larangannya.
2. Tidak ada cara lain bagi kita untuk mentaati perintah Allah tersebut kecuali dengan mengamalkan apa yang datang dari Rasulullah dengan lapang dada dan bersih hati dari keinginan untuk menolaknya, serta pasrah pada perintah dan hukum-hukumnya.
3. Seorang muslim membutuhkan sunnah Rasulullah untuk menjelaskan globalitas isi Al-Qur’an.
Pandangan Imam Asy-Syafi’i tentang hadits Ahad
Hadits Ahad adalah hadits yang tidak memenuhi semua atau sebagian syarat –syarat hadits mutawattir. Yaitu diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut adat dan logika mereka tidak mungkin berdusta, dan diriwayatkan dari orang banyak dan menyandarkan hadit kepada sesuatu yang bisa dirasakan oleh indera.
Adapun kriteria hadits yang diterima oleh Imam Asy-Syafi’i adalah:
1. Sanadnya bersambung (tidak terputus).
2. Para perawinya adil.
3. Perawinya dhabit (tepat dan sempurna hafalannya).
4. Selamat dari syudzuz (riwayatnya tidak bertentangan dengan riwayat orang lain yang lebih tsiqah).
5. Selamat illat (cacat) yang membuatnya tercela.
Dengan demikian selama hadits itu shahih dari Rasulullah , maka Imam Asy-Syafi’i akan menerimanya. Ketika ditanya tentang, sebagaimana jawaban beliau ketika ditanya oleh Sa’id bin Asad tentang hadits ru’yah (salah satu hadits ahad), beliau berkata,” Hai Ibnu Asad, hukumlah aku, baik aku hidup atau mati, jika aku tidak mengikuti hadits shahih yang datang dari Rasulullah, sekalipun aku tidak mendengarnya langsung”. Dengan demikian maka Imam Asy-Syafi’i mewajibkan menggunakan hadits Ahad dalam seluruh perkara agama, dengan tidak ada pembedaan baik dalam masalah aqidah atau lainnya. orang yang menolak hadits ahad tanpa alasan yang dibenarkan, merupakan satu kesalahan yang tidak bisa dimaafkan.
Qaidah kedua: Menghormati pemahaman sahabat dan mengikutinya.
Imam Asy-Syafi’i berkata,” Selama orang mendapati Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka tidak ada jalan lain baginya selain mengikutinya. Jika keduanya tidak ada, kita harus mengambil ucapan para sahabat atau salah satu dari mereka atau ucapan para imam seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman. Ucapannya lebih patut diambil dari yang lainnya.
Ilmu itu bertingkat-tingkat, di antaranya:
1. Al-Kitab dan As-Sunnah yang shahih.
2. Ijma’ (konsensus/ kesepakatan) para ulama terhadap masalah yang tidak ada ayat atau haditsnya.
3. Ucapan sebagian sahabat yang tidak ditentang oleh seorangpun dari mereka.
4. Ikhtilaf para sahabat dalam masalah tersebut.
5. Qiyas terhadap sebagian tingkatan, tidak boleh mengambil selain Al-Kitab dan As-Sunnah selama keduanya ada, karena ilmu itu hanya diambil dari yang lebih tinggi.
Kenapa harus mengikuti sahabat?
Imam Syafi’i seperti yang dikutip oleh Imam Al-Baihaqi dalam Al-Risalah Al-Qadimah dari Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani, Imam syafi’i berkata,” Allah telah memuji para sahabat Rasulullah dalam Al-Qur’an, Injil dan Taurat. Kelebihan mereka disebutkan oleh Rasulullah tidak dimiliki oleh seorangpun selain mereka. mereka telah menyampaikan kepada kita sunnah Rasulullah. Telah mendampingi Rasulullah dikala wahyu diturunkan, sehingga mereka mengetahui apa yang diinginkan oleh Rasulullah, baik yang umum maupun yang khusus, baik perintah, larangan, maupun bimbingan. Mereka telah mengetahui sunnah Rasulullah, sehingga mereka lebih unggul baik dalam ilmu, ijtihad, kewara’an, maupun pikiran. Pendapat mereka lebih baik kita ambil dibandingkan dengan pendapat kita”.

Qaidah ketiga: Menjauhi pengikut hawa nafsu, pelaku bid’ah ahli kalam dan mencela mereka.
Bid’ah secara bahasa berarti mencipta dan mengawali sesuatu. Sedangkan menurut istilah, bidah berarti cara baru dalam agama (yang belum ada contoh sebelumnya) yang menyerupai syariah dan bertujuan untuk dijalankan dan berlebihan dalam beribadah kepada Allah. Imam Syafi’i membagi perkara baru menjadi dua:
1. Perkara baru yang bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar (sahabat) dan ijma’. Ini adalah bidah dhalalah.
2. Perkara baru yang baik tetapi tidak bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar (sahabat) dan ijma’. Ini adalah bidah yang tidak tercela.
Inilah yang dimaksud dengan perkataan Imam Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah mazmumah (tercela/ buruk). Bidah yang sesuai dengan sunnah adalah terpuji dan baik, sedangkan yang bertentangan dengan sunnah ialah tercela dan buruk”. Hajr (meninggalkan) pelaku bid’ah menurut Imam Asy-Syafi’i
Para Salaf menasihatkan agar tidak banyak bergaul dengan para pelaku bid’ah. Imam Ad-Darimi meriwayatkan dalam sunannya dari Abu Qilabah, beliau berkata,” Janganlah kamu berteman dengan pengikut hawa nafsu dan janganlah kamu berdebat dengan mereka. susungguhnya aku khawatir kalau kamu akan masuk terperangkap ke dalam pemikiran sesatnya atau menjadi ragu tentang apa yang telah kamu yakini”.
Imam Hasan Al-Bashri dan Muhammad bin Sirin juga berpesan,” Janganlah kamu berteman dengan pengikut hawa nafsu, dan jangan kamu berdebat dan mendengarkan mereka. Jangan berteman dengan pembuat bidah, karena akan membuat penyakit di kalbumu”. Inilah juga mazhab Imam Syafi’i, bahkan beliau meninggalkan Bagdad dan pindah ke Mesir kerena munculnya aliran mu’tazilah yang telah berhasil mempengaruhi negara. Beliau berkata,”Saya tidak akan berdebat dengan seorangpun yang saya yakini bahwa ia tetap dalam kebid’ahannya”. Imam Asy-Syafi’i bahkan mengkafirkan sebagian pelaku bid’ah yang jelas-jelas sesat seperti orang yang mengatakan al-Qur’an adalah makhluk. Sebagaimana perkataan beliau kepada Hafs Al-Fard yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Imam Syafi’i berkata,” Engkau telah kafir kepada Allah ”. Imam Asy-Syafi’i juga berkata,” Jika engkau melihat pengikut hawa nafsu terbang, aku tidak akan percaya kepadanya. sungguh benar perkataan seorang penyair:
“Bila engkau melihat orang bisa terbang, dan berjalan di atas lautan, tetapi ia melanggar batas syariah. Maka, ia adalah orang yang diistidraj dan ia adalah pelaku bid’ah”.
AQIDAH IMAM ASY-SYAFI'i DALAM MASALAH IMAN
Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya dari Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi, ia berkata,”Saya mendengar Imam Asy-Syafi’i berkata,”Iman adalah ucapan dan perbuatan, ia bertambah dan berkurang”. Di antara dlalil yang digunakan oleh Imam Asy-Syafi’i adalah firman Allah :
ويزداد الذين أمنوا إيمانا
Artinya,” Dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya”, (QS. Al-Muddatsir: 35).
Juga firman Allah :
Artinya,” Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal”. (QS. 8:2).
Baca juga firman Allah di surat At-Taubah: 124.
Adapun hadits Rasulullah r adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:
الإيمان بضع وسبعون ، أو بضع وستون شعبة ، فأفضلها قول لا إله إلا الله ، وأدناها إماطة الأذى عن الطريق ، والحياء شعبة من الإيمان
Artinya,” Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih cabang atau enampuluh lebih cabang. Yang paling tinggi ialah ucapan La Ilaaha Illallah, sedang yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (sesuatu yang mengganggu) dari jalan dan malu adalah sebagian dari iman”, (HR.Bukhari dan Muslim).
Pendapat Imam Asy-Syafi’i ini sesuai dengan pendapat para sahabat, tabi’in, dan lainnya, sebagaimana perkataan Umar bin Khattab kepada teman-temannya,” Mari kita menambah keimanan kita”. Kemudian mereka berzikrullah.
Pengecualian Dalam Iman
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,”Yang dimaksud dengan pengecualian dalam masalah iman adalah seperti seorang berkata,”Saya seorang mukmin, Insya' Allah ”.
Tentang masalah ini para ulama berselisih pendapat: ada yang mewajibkannya, ada yang mengharamkannya dan ada yang membolehkannya dan inilah pendapat yang paling shahih”. Dan pendapat inilah yang diambil oleh Imam Asy-Syafi’i sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Abu Al-Baqa’ Al-Futuhy,” Boleh mengaku beriman dengan pengecualian seperti seorang mengatakan,”Saya beriman Insya' Allah”, pendapat ini ditegaskan oleh Imam Ahmad, Imam Asy-Syafi’i dan diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud”.
Perbedaan Antara Islam dan Iman
Ini adalah masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Pendapat mereka terbagi menjadi tiga golongan;
1. Islam dan Iman adalah satu, yang berpendapat seperti ini adalah Imam Al-Bukhari, Imam Muh. bin Nashir Al-Marwadzi, Imam Ibnu Mandah
2. Iman dan Islam adalah dua hal yang berbeda. Imam Az-Zuhri berkata,”Islam adalah kalimat atau ucapan, sedangkan iman adalah amal”. Abdul Malik Al-Maimuni bertanya kepada Imam Ahmad, apakah iman dan Islam berbeda?, beliau menjawab,”Ya”, berdasarkan firman Allah surat Al-Hujarat: 14.
3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Al-Khattabi dan Ibnu Rajab menyebutkan bahwa apabila iman dan Islam disebut secara terpisah maka keduanya bermakna sama, namun bila disebutkan bersamaan maka keduanya terdapat perbedaan. Iman adalah pengakuan dan keyakinan hati dan pengamalannya sedangkan Islam adalah ketundukan yang tercermin dalam amal.
Berdasarkan beberapa perkataan Imam Syafi’i, maka beliau termasuk yang berpendapat iman dan Islam bermakna satu dan tidak ada perbedaan antara keduanya.
HUKUM PELAKU DOSA BESAR DAN PENGARUHNYA PADA IMAN
Ahlussunnah wal jama’ah memiliki sikap pertengahan antara sikap Khawarij dan Mu’tazilah yang berlebih-lebihan dan sikap Khawarij yang longgar. Khawarij berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar (al-kabirah) menjadi kafir jika tidak bertaubat dan akan kekal di neraka. Mu’tazilah mengatakan mereka akan kekal di neraka dan didunia berada di antara dua posisi yaitu tidak kafir dan tidak mukmin (manzilah bainal manzilatain). Sementara Khawarij mengatakan bahwa orang yang mengucapkan syahadat telah sempurna imannya dan setiap mukmin masuk surga. Dosa tidak berpengaruh terhadap iman sebagaimana ketaatan tidak bermanfaat bersama kekufuran. Adapun Ahlussunnah mereka berpendapat bahwa dosa besar yang dilakukan seorang mukmin tidak mengeluarkannya dari iman. Bila mereka meninggal sebelum bertaubat, maka ia akan disiksa di neraka namun tidak kekal, bahkan urusan mereka diserahkan kepada Allah, apakah Allah menyiksanya atau berkenan mengampuninya. Mereka berdalil dengan firman Allah,” Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, Dan Dia mengampuni dosa yang lain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya”, (QS. 4:48 dan 116).
Mafhumnya, setiap dosa yang selain dosa syirik berada dalam masyi’ah (kehendak) Allah. jika Allah menghendaki untuk mengampuninya, maka Allah akan mengampuninya sekalipun pelakunya tidak bertaubat. Sebaliknya bila Allah menghendaki untuk menghukumnya, maka Allah akan menyiksanya.
Ucapan Imam Asy-Syafi’i tentang dosa-dosa besar selain syirik
Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa ahlul qiblat (kaum mukminin) yang berbuat dosa besar berada di bawah masi’ah Allah. Beliau berkata,” Orang yang lari pada saat pertempuran bukan karena ingin bersiasat dalam menghadapi musuh atau bukan karena ingin bergabung dengan pasukan lain, maka saya khawatir ia mendapat murka Allah, kecuali Allah memaafkannya. Beliau juga berkata,” Dan Allah menjadikan akherat sebagai tempat tinggal abadi dan balasan atas amal-amal kebaikan dan kejahatan di dunia jika Allah tidak mengampuninya. Pendapat Imam Asy-Syafi’i di atas didasarkan pada nash-nash al-Qur’an dan sunnah di antaranya firman Allah :
Artinya,” Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang maka damaikanlah antara keduanya.Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah.Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”, (QS. 49:9).
Imam Asy-Syafi’i berkata,” Pada ayat ini Allah menyebutkan peperangan antara dua golongan, namun tetap dinamakan mukminin dan menyuruh untuk didamaikan dst”.
Hukum Meninggalkan Shalat
Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas harus disuruh taubat, bila tidak mau dia boleh dibunuh karena had (hukuman) bukan karena ia murtad dan sudah menjadi kafir. Pendapat beliau ini bertentangan dengan pendapat Mayoritas ulama baik salaf maupun khalaf yang mengatakan mereka dibunuh karena ia kafir.

Hukum Sihir dan Penyihir
Mengenai masalah sihir dan tukang sihir, Imam Syafi’i memberikan perincian, beliau berkata,” Jika seorang belajar sihir, maka tanyalah ia apakah sihirnya itu?”. Bila sihirnya berisi hal-hal yang menjadikannya kafir seperti meminta bantuan kepada jin dan binatang, maka ia kafir. Bila ia hanya menggunakan bau-bauan (kemenyan) maka tidak kafir tapi sangat diharamkan. Dan bila ia mengakui sihir itu dibolehkan, maka ia juga kafir. Jika tidak menyakini itu boleh maka ia tidak kafir.
Tauhid Uluhiyah
Tauhid uluhiyah menurut Imam Asy-Syafi’i adalah,” Mengesakan Allah dalam ibadah, dan ini merupakan hakekat Tauhid. Dan untuk itulah manusia diciptakan, sebagaimana firman Allah ,” Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan mansia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”, (QS. Adz-Dzaariyat: 56).
Juga firman Allah Y:
أيحسب الإنسان أن يترك سدى
Artinya,” Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban) (QS. 75:36).
Imam Asy-Syafi’i berkata,” Para ulama tafsir sepakat bahwa yang dimaksud dengan suda dalam ayat ini adalah tidka diperintah dan tidak dilarang”.
Beberapa Masalah Tentang Kubur
1. Talqin
Tidak ada keterangan dari Imam Asy-Syafi’i tentang masalah talqin. yang menganjurkan talqin adalah ulama-ulama Syafi’iyah seperti al-Qadhi Husain, Al-Mutawalli, Al-Rafi’i dan lainnya. mereka berdalil dengan hadits Hadits Umamah yang diriwayatkan oleh Al-Thabrani. Namun hadits tersebut dhaif. Syaikh Al-Albani menyebutkan di antara sebab lemahnya adalah karena dalam sanadnya ada Al-Azdi atau Al-Audi yang tidak tsiqah dan dia majhul.
2. Meratakan Kuburan
Imam Asy-Syafi’i berkata,”Aku menyukai kalau tanah kuburan itu sama (diratakan) dari yang lain, dan tidak mengapa jika ditambah sedikit saja sekitar satu jengkal”.
3. Membangun kuburan dan duduk di atasnya
Imam Asy-Syafi’i berkata,”Aku suka jika kuburan itu tidak dibangun dan disemen, karena hal itu merupakan bentuk perhiasan dan kebanggaan. Saya juga tidak suka kuburan itu diinjak, diduduki atau dijadikan sandaran. Beliau berdalil dengan Sabda Nabi,” Seseorang duduk di atas bara api sehingga pakaian dan kulitnya terbakar, lebih baik baginya daripada duduk di atas kuburan seorang muslim”.(HR.Muslim)
4. Ziarah kubur
Imam Asy-Syafi’i berkata,” Dan boleh melakukan ziarah kubur. Dalam ziarah kubur, janganlah mengucapkan kata-kata kotor yaitu mendoakan jelek kepada mayit dan meratapinya. Tetapi beristigfarlah untuk si mayit”.
Ziarah kubur khusus untuk laki-laki dan Wanita tidak boleh melakukannya berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwasanya Allah melaknat wanita –wanita yang menziarahi kubur”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (2/337-356), Imam At-Tirmidzi no. 1056, Ibnu Majah, no.1576. Tirmidzi mengatakan,”Hadits ini hasan shahih dan memiliki syawahid (penguat) di antaranya adalah:
1. Sanad dari Hassan pada riwayata Ahmad (3/442-443), Ibnu Majah (1574).
2. Dari Ibnu Abbas pada Ahmad (1/229), Abu Daud (3236), At-Tirmidzi (320), AN-Nasa’i (4/94-95) dan Ibnu Majah (1575).
3. Karena banyak jalurnya, maka hadits ini shahih.
Imam An-Nawawi berkata,” Adapun jika tujuannya (ziarah kubur) untuk mendo’akan si mayit atau mengambil ibrah (pelajaran) darinya, maka itu bisa dilakukannya di rumahnya”.
4. Syafaat
Syafaat artinya memohon kepada Allah agar Dia mengampuni dosa dan kesalahan orang lain yang diberi syafaat. Syafaat di bagi dua yaitu:
I. Syafaat yang diakui oleh agama dan bermanfaat bagi pelakunya, yaitu syafaat yang memiliki dua syarat yaitu:
1. Si pemberi syafaat mendapat izin dari Allah untuk memberi syafaat, lihat al-Qur’an surat Al-Baqarah: 255, Yunus:3.
2. Orang yang diberi syafaat mendapat ridha dari Allah , lihat al-Qur’an surat An-Najm: 26, Al-Anbiya’: 28.
II. Syafaat yang tidak diakui oleh agama dan tidak bermanfaat bagi pelakunya karena tidak memenuhi syarat di atas.
5. Ruqyah
Imam Asy-Syafi’i membolehkan ruqyah dengan syarat diambil dari kitabullaah atau zikrullah.
Tauhid Rububiyah
Metode Salaf Dalam Menegakkan Dalil Tentang Wujud Allah
1. Fithrah, Allah berfirman,” Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. 30:30). Rasulullah r bersabda,” Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani dan Majusi”, (HR.Bukhari dan Muslim).
2. Melalui ayat-ayat kauniyah, yaitu adanya alam semesta menunjukkan adanya Allah yang Maha Pencipta.
3. Melalui dalil ‘inayah yaitu dalil yang masih termasuk di bawah ayat-ayat yang membuktikan keesaan Allah , misalnya firman Allah ,” Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur'an itu benar.Dan apakah Rabbmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu”, (QS. 41:53).
Metode Imam Asy-Syafi’i Dalam Menegakkan Dalil Tentang Wujud Allah
Imam Asy-Syafi’i bercerita,” Telah berjumpa denganku tujuh belas orang Dzindiq di jalan menuju Ghazah. Mereka bertanya,”Apa bukti adanya Pencipta?”. Aku berkata,”Jika aku mengemukakan bukti yang memuaskan apakah kalian mau beriman?”. Mereka menjawab,”Ya”. Aku katakan,”Daun pohon At-Tut, rasanya, warnanya dan baunya sama. Dimakan oleh ulat yang keluar dari perutnya adalah benang sutera. Dimakan oleh lebah yang keluar adalah madu. Dimakan oleh kambing yang keluar adalah kotoran. Yang dimakan adalah satu jenis maka yang keluar seharusnya juga satu jenis. Tetapi perhatikanlah bagaimana keadaan itu berubah, niscaya itu adalah perbuatan Pencipta Alam yang Maha Kuasa untuk merubah semuanya”.
Beliau juga berkata,” Anda melihat sebuah benteng yang kokoh, tidak memiliki pintu dan celah. Anda melihat dindingnya retak, dan tiba-tiba keluar binatang yang bisa melihat dan bersuara. Anda sadar alam tidak akan mampu melakukannya tetapi Allah Y bisa menciptakannya. Benteng tersebut adalah telur dan binatang tersebut adalah anak ayam”.
Tauhid Asma dan Shifat
Manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah dalam bab Asma’ (nama) dan sifat Allah , yaitu mensifatkan Allah dengan sifat-sifat yang telah ditetapkan-Nya untuk diri-Nya atau yang ditetapkan oleh Rasulullah tanpa ta’wil, takyif (menanyakan bagaimana), tamtsil (mengumpamakan) dan tasybih (menyerupakan), berdasarkan firman Allah :
ليس كمثله شيئ وهو السميع البصير
Artinya,” Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”, (QS. 42:11).
Sebagai salah satu dari ulama salaf, Imam Asy-Syafi’i sangat konsisten dengan manhaj salaf dalam masalah ini. Hal ini terlihat di antaranya sebagaimana di awal khutbah kitabnya al-Risalah, beliau berkata,” Segala puji bagi Allah sebagaimana Dia mensifati diri-Nya dan atas apa yang disifatkan untuk-Nya oleh makhluk-Nya”.
Di antara Sifat-Sifat Allah
1. sifat Al-‘Uluw (ketinggian)
Al-‘Uluw adalah sifat Dzatiah yang tidak terpisah dari AllahY yaitu Dia bersifat tinggi di atas makhluk-Nya, dan Dia berada di Arsy-Nya di langit, sebagaimana firman Allah Y,” Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang”, (QS. 67:16), baca juga surat Fathir: 10, An-Nahl:50, Ali Imran: 55, Al-A’la:1, Al-Ma’arij:4, dll.
2. Istiwa’ (bersemayam)
Istiwa’ adalah sifat fi’liyah yang tetap bagi Allah , yaitu Dia bersemayam di atas Arsy, sebagaimana firman-Nya,” Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy”, (QS. 7:54). Baca firman Allah surat Yunus: 3, Al-Rad: 2, Thaha: 5, Al-Furqan: 59, As-Sajdah: 4, Al-Hadid:4.
3. An-Nuzul (Turun)
An-Nuzul termasuk di antara sifat Khabariyah fi’liyah yaitu Allah turun ke langit dunia pada setiap malam, sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. Imam Asy-Syafi’i berkata,” Sesungguhnya Allah di atas Arsy-Nya mendekat kepada makhluk-Nya menurut bagaimana yang Dia kehendaki dan sesungguhnya Allah turun ke langit dunia menurut bagaimana yang Dia kehendaki”.
4. Sifat al-Yadd (tangan)
al-Yadd (tangan) termasuk di antara sifat dzatiyah Khabariyah yaitu Allah memiliki tangan, sebagaimana firman-Nya,” Allah berfirman:"Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku”, (QS. 38:75). Baca firman Allah di Al-Maidah: 64 dan AL-Fath:10.
5. Sifat al-wajh (wajah), lihat firman Allah surat Al-Qashash: 88, Al-Rahman: 27 dll.
6. Sifat al-Qadam (kaki), Rasulullah r bersabda,” Kemudian Allah yang Maha Perkasa meletakkan kaki-Nya padanya (neraka), dan ketika itu barulah ia penuh dan saling berdekatan dengan yang lainnya dan berkata,”Cukup, cukup”, (HR.Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
7. Sifat tertawa, Rasulullah bersabda,” Allah tertawa kepada dua orang yang salah satunya membunuh yang lainnya dan mereka berdua masuk surga. Yang satunya berperang di jalan Allah kemudian terbunuh, dan Allah menerima taubat dari pembunuh dan masuk Islam dan ia juga mati syahid”. (HR.Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
8. Sifat al-Ashaabi’(jari-jemari), Rasulullah bersabda,” Tidak ada satu hatipun kecuali berada di antara dua jari di antara jari-jemari Al-Rahman”. (Thabaqat Ibnu Abi Ya’la, I/284, dan Majmu’ Fatawa, 4/182).
9. Sifat al-‘Ain (mata), Allah berfirman,” dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku”, (QS. 20:39). juga firman Allah surat Al-Qamar: 14, Huud:37, Ath-Thur:48.
10. Sifat al-‘ilmu, Allah berfirman,” tetapi Allah mengakui Alquran yang diturunkan-Nya kepadamu. Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya”. (QS. 4:166). lihat juga firman Allah surat At-Taubah: 78, Al-Ahzab: 54 dll.
Aqidah Imam Asy-Syafi’i Dalam Masalah Asma dan shifat
Rabi’ bin Sulaiman berkata,”Aku bertanya kepada Asy-Syafi’i tentang sifat Allah ”. Beliau berkata,” Terlarang untuk akal mengumpamakan Allah , untuk dugaan memberi batasan pada-Nya, untuk yang sangkaan memastikan, jiwa yang memikirkan, hati kecil yang mendalami-Nya, lintasan batin untuk merenungi-Nya dan selain apa yang disifatkan-Nya untuk diri-Nya melalui lisan Nabi-Nya.

Seputar Kenabian dan Kematian
1. Iman Kepada Para Nabi
Maksudnya adalah tashdiq (pembenaran) terhadap kenabian semua Nabi yang diceritakan oleh Allah , dan membenarkan apa yang mereka sampaikan dari Allah, iman terhadap nama-nama mereka, sifat-sifat mereka, dan pembenaran secara umum tanpa mengingkarinya.
Imam Asy-Syafi’i berkata,” Allah menjadikan Nabi sebagai makhluk pilihan di antara makhluk-makhluk-Nya, dan menitipkan amanah wahyu untuk disampaikan dan menegakkan hujjah kepada manusia.
2. Kematian
Diriwayatkan dari AL-Baihaqi dari Imam Asy-Syafi’i beliau berkata,” Adzab kubur itu benar adanya dan pertanyaan yang diajukan kepada penghuni kubur juga benar adanya”.
3. Menghadiahkan Pahala Amal Kepada Mayit
Kalangan Ahlussunnah wal Jamaah sepakat bahwa orang yang telah mati dapat menerima manfaat dari usaha orang yang hidup dalam dua hal:
1. Hasil usaha mayit ketika hidup yang dapat memberikan manfaat kepada orang lain.
2. Amal shalih orang yang masih hidup apabila dilakukan sebagai taqarrub kepada Allah kemudian diberikan kepada mayit, akan sampai namun terjadi perbedaan pada sebagian ibadah:
Imam Asy-Syafi’i dan Imam Malik berpendapat bahwa tidak sampai kepada mayit kecuali apa yang diterangkan oleh dalil tentang pengesahan untuk memberikan hadiah kepada mayit yaitu berbentuk doa, shadaqah, haji dan umrah. Adapun diluar itu tidak sampai kepadanya dan tidak pula disyariatkan perbuatannya dengan niat memberikan hadiah. Itulah pendapat yang masyhur (populer) dari mazhab Imam Asy-Syafi’i dan Imam Malik. Adapun dalilnya adalah:
1. Sabda Rasulullah,”Apabila mati anak Adam, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal; shadaqah jariyah, anak shaleh yang mendo’akannya dan ilmu yang bermanfaat baginya sepeninggalnya”, (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
2. Hadits Aisyah tentang seorang pria yang datang kepada Rasulullah dan berkata,”Wahai Rasulullah! Sesungguhnya ibuku telah meniggal dunia secara mendadak dan tidak sempat berwasiat, saya kira seandainya ia sempat berbicara niscaya akan bershadaqah, adakah baginya pahala jika saya bershadaqah untuknya?. Rasulullah menjawab,”Ya”. (HR.Bukhari dan Muslim).
3. Hadits Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa seorang wanita dari Juhainah telah datang menghadap Nabi dan berkata,” Ibuku telah bernadzar untuk melaksanka ibadah haji tetapi belum sempat melaksanakan ia telah meninggal dunia, bolehkah aku melaksanakan haji untuknya?. Nabi bersabda,” Berhajilah untuknya! bagaimana menurutmu kalau ibumu memiliki hutang, haruskah engkau melunasinya? Hutang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi (HR.Bukhari).
4. Rasulullah bersabda,”Barangsiapa yang meninggal dunia masih memiliki kewajiban puasa, maka hendaklah walinya berpuasa untuknya”. (HR.Bukhari dan Muslim dari Aisyah).
Imam Asy-Syafi’i berkata,” Disampaikan pahala kepada si mayit dari tiga amalan orang lain; haji yang dilaksanakan untuknya, harta yang dishadaqahkan atau dilunasi untuknya, dan doa. Adapun shalat dan puasa, itu hanya milik pelaku dan tidak sampai kepada mayit.
Berbeda dengan harta, sesungguhnya seorang mempunyai kewajiban untuk memenuhi apa –apa yang pada harta itu terdapat hak Allah yang berupa zakat dan lainnya, karena itu memadai bila dilaksanakan oleh orang lain atas perintahnya.
Adapun doa, sesungguhnya Allah telah menganjurkan hamba-hamba-Nya untuk melakukannya dan meminta Rasulullah untuk melaksanakannya. Maka, apabila dibolehkan berdoa untuk saudara yang masih hidup, berarti boleh pula berdoa untuk yang telah mati. Dan Insya' Allah keberkahan akan sampai kepadanya, di samping Allah Maha Luas rahmat-Nya untuk memenuhi pahala orang hidup dan menyertakan si mayit dalam kemanfaatannya. Demikian pula setiap kali seseorang bertathawwu’ (shadaqah sunnah) untuk orang lain melalui sedekah tathawwu”.
Adapun aqidah beliau dalam masalah-masalah di hari kiamat, sebagaimana aqidah salaf yang lain. Beriman kepada kebangkitan, pembalasan, pemeriksaan, hisab, pembacaan tulisan, pahala, siksaan, titian, neraka dan surga, yang merupakan dua makhluk yang tidak akan musnah selamanya.
Aqidah Imam Asy-Syafi’i Seputar Sahabat
Imam Asy-Syafi’i berkata,” Allah telah memuji para sahabat Rasulullah di dalam Al-Qur’an, taurat dan injil. Keutamaan mereka telah disampaikan oleh Rasulullah, sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang selain mereka. Maka AllahY menyayangi mereka dan menempatkan mereka setinggi-tinggi derajat, yaitu derajat orang-orang yang jujur, syuhada’ dan orang-orang yang shalih. Merekalah yang menyampaiakn kepada kita sunnah-sunnah Rasulullah r dan menyaksikan wahyu diturunkan kepada Rasulullah. Mereka mengerti apa yang dikehendaki oleh Rasulullah r baik secara umum dan khusus. Mereka mengetahui semuanya yang tidak kita ketahui. Mereka berada di atas kita dalam bidang ijtihad, pengetahuan, wara’, dan lainnya. pemikiran mereka lebih terpuji dan lebih utama untuk kita dari pemikiran yang datang berikutnya. Jika seorang di antara mereka menyatakan pendapatnya dan tidak ada seorangpun yang menyalahkannya, maka kitapun harus mengambil pendapat tersebut”.
Setiap sahabat memiliki kelebihan tersendiri, tapi yang paling utama secara berurutan adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali Radiyallahu Anhum. Imam Asy-Syafi’i menyebutkan,”Semua ulama sepakat tentang ini, yang diperselisihkan hanya mana yang lebih utama Utsman atau Ali”. Beliau juga berkata,” Kita tidak menyalahkan salah seorang di antara kalangan sahabat Rasulullahr pada apa yang mereka kerjakan”.